Monday, January 18, 2010

Ketika Cita-cita Mampir ke Pikiran Kemudian menjadi Angan-angan

Ketika semua yang menyenangkan menimbulkan konflik dalam pikiran, ketika tiba saatnya untuk memilih, ketika saya menginjak usia remaja, ketika Elkind (1967) mengatakan bahwa saya itu indesesif, ketika Erikson (1968) mengatakan bahwa saya memang dalam tahap pencarian identitas diri, ketika Marcia (1966) berkata tentang krisis & komitmen dalam memilih arah hidup.

Ketika itulah saya merasa cukup tertekan. Ketika sekaranglah saya rasakan. Memangnya cita-cita kamu apa aja? Apakah cita-cita itu masih ada di pikiran atau sudah jadi angan-angan?

Ketika masih SD, dengan polos saya menjawab: pengen jadi dokter. Kenapa jadi dokter? Mungkin karena keluarga diam-diam menanamkan pikiran bahwa dokter itu cita-cita menjanjikan. Cita-cita ini sudah jadi angan-angan karena saya anak IPS. Sejujurnya ketika SMA kelas 3 pun masih memikirkan pengen jadi dokter agar nanti mengambil spesialis kejiwaan. Tapi, gak jadi. Biayanya mahal. Cita-cita ini jadi angan-angan saja.

Ketika SMP kelas 2, dengan pikiran seolah-olah matang menjawab pada seorang tukang bubur dengan terkesan mantap: mau jadi arsitek dong. Si tukang bubur nanya pekerjaan macam apakah itu. Dan saya jelaskan dengan meletakkan diri sebagai 'orang yang tau segalanya' (atau akrab disebut sok tau). Cita-cita ini pupus karena saya anak IPS dan menyadari saya bukan orang berspasial baik.

Ketika SMP kelas 3, terkesan mantap menjawab: fashion designer keren deh, jadi pengen. Jawaban ini terpengaruh komik Jepang yang memperlihatkan gemilau fashion Jepang yang kreatif. Cita-cita ini masih bertahan, dan ingin diwujudkan.

Ketika SMA kelas 1, dikenalkan dengan bidang baru dan menjawab: MIPA, pengen masuk Kimia nih. Saya jatuh cinta dengan sebuah pelajaran yang baru saja saya terima ketika SMA, yaitu Kimia. Minat semakin besar ketika nilai-nilai Kimia saya relatif lebih baik dengan teman-teman sekelas. Cita-cita ini menjadi angan-angan hanya dalam hitungan hari. Pembagian jurusan yang berkata saya anak IPA memang membuat saya senang, tapi pupus seketika di hari pertama masuk IPA. Sore harinya saya meminta orangtua memindahkan saya ke jurusan IPS. Cita-cita itu pun jadi angan-angan.

Ketika SMA kelas 2, bertemu dengan sahabat hebat, mengenalkan saya pada minat lain, mantap menjawab: jurnalistik asik juga ya. Saya masih ingat makalah laknat saya pun bertema jurnalistik. Saya aktif di bidang media dan pernah mengikuti seminar serta workshop semacam itu. Cita-cita masih mengambang. Seharusnya ini menjadi angan-angan, namun pikiran itu kembali mampir ketika saya membuat tulisan ini. Menarik. Thanks for my awesome friend: Nurin.

Ketika SMA kelas 3, menghadapi saat krisis dan komitmen diuji, saya pun menjawab: wow, ternyata psikologi tuh kayak gini ya. Lagi-lagi terkesan mantap, saya pun memilihnya. Krisis dan komitmen telah saya lewati. Saya telah mendapatkan identity achievement, seharusnya. Cita-cita tercapai dengan masuknya saya ke Psikologi Universitas Indonesia. Entah akan bertahan atau tidak, lihat saja 2 tahun lagi.

Ketika kuliah semester 1 di Psikologi, betapa dengan nada penyesalan atas apa yang ingin saya ambil, saya pun hanya bisa berkata: aduh, coba waktu itu pilihan pertamanya Sastra Jepang aja. Harapan itu belum hilang sekalipun kesempatan saat ini belum ada. Kita tunggu waktunya saja sampai kesempatan datang atau minatnya hilang.

Ketika kuliah semester 2 di Psikologi, dengan ragu menjawab: saya pengen masuk Psikologi Perkembangan dan Pendidikan deh, nanti pengen bikin sekolah bareng temen-temen. Hmm, cita-cita mulia. Terdengar so sweet. Tapi kurang operasional buat saya. Sekarang pun saya masih dalam kebimbangan mengenai hal ini.

Ketika kuliah semester 3 di Psikologi, saya dengan pikiran menerawang jauh ke depan menjawab: eh, tau gak sih saya pengen jadi desainer Kebaya dan buka butik Kebaya di Tokyo. What a high! (saat menulis ini pun saya jadi berpikir tentang kelogisannya) Sudahlah, namanya juga masih cita-cita, kalo gak operasional gak apalah ya. Ini juga masih bertahan hingga sekarang.

Bagaimana dengan sekarang? Saya bertahan pada cita-cita terakhir saja dulu sementara ini.

Oh ya, ada yang ingin disebutkan tapi malas dijabarkan, cita-cita lain yaitu: Menjadi PNS di Departemen Pendidikan Nasional atau Jamsostek; Jadi Menteri Pendidikan Nasional; Memiliki usaha toko kaos bermotif original Indonesia, bakery & toko donat, tempat bermain untuk anak usia dini (semacam TK), Convenience Store (Konbini), restoran/bistro/cafe; Bekerja di bidang Farmasi, Perminyakan; Fotografer, Wartawan, Editor Majalah, Penulis; Komikus, Translator komik Jepang, Editor komik Jepang (terutama shojo manga); Wedding Organizer; Aktris, Pemain drama, Penari latar, Hair dresser, Make-up artist; and many more.

Semuanya mungkin tidak bisa terwujud karena waktu belum tentu mengizinkan. Semuanya adalah pilihan. Dan tidak memilih pun adalah sebuah pilihan (Sartre). Akhir kata: Bercita-citalah. Sekian dan terima kasih telah membaca. :)

Introduction

Hahaha, saya bikin blog. Padahal saya tau kalo bikin blog itu ngurusnya nyusahin doang *buat saya pribadi*. Tapi kenapa dibikin juga? Hmm, alasannya sederhana dan tidak kreatif: ikut-ikutan teman. Yap! Saya ikut-ikutan temen yang punya beberapa akun blog di berbagai web blog. Saya baca salah satu blog-nya dan saya pun terinspirasi untuk ikut-ikutan *biasalah ya, anak muda*

Trus saya berpikir, kira-kira seberapa lama blog ini akan terurus? Kita tunggu saja. Saya itu orang yang cuma semangat di awal doang dan saya sangat sadar hal itu. Apalagi kalo lagi gak ada kerjaan, biar keliatan sok sibuk aja gitu. Kan asik diliatnya, kesannya lebay, dan lebay itu asik.

Nah, atas dasar itulah saya buat post pertama yang seperti ini. Okay, kalimat terakhir: Burung Irian Burung Cendrawasih Cukup sekian dan terima kasih :)